Tantangan Santri Era Digital


Santri, itulah sebutannya. Definisi santri sendiri ialah sebutan untuk seseoarang yang tholabul ilmi atau disebut juga seseorang yang sedang menimba ilmu tentang agama Islam dalam kurun waktu yang lama dan tinggal atau menetap di sebuah tempat yang disebut pondok. Banyak yang bilang santri itu kurang gaul dan tidak tahu berita baru yang ter-update. Pernyataan yang sangatlah tidak tepat, kata siapa santri tidak bisa mengikuti zaman? kata siapa santri tidak gau dan tidak update? Meski santri hanya tinggal di pondok, tapi tidak menutup kemungkinan mereka tidak mengerti zaman yang semakin modern ini.

Sekarang ini adalah keadaan dimana perkembangan zaman semakin pesat, seorang santri tentu haruslah bisa beradaptasi dan melakukan perubahan. Santri dituntut memiliki intelektualitas yang luas, yang bisa menggabungkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Di era sekarang tantangan santri sangat berbeda, dengan kemajuan zaman dan perkembangan globalisasi. Disamping menekuni kajian keagamaan yang sangat kental, seperti kajian kitab kuning, moral, akhlaq, tawadhu, santri harus mengimbanginya dengan kemampuan intelektualnya.

Kini, santri akan dihadapkan dengan era milenial. Bahkan lebih dari itu, dunia akan memasuki era baru yang dihuni oleh generasi post-milenial, yakni satu strip diatas milenial, begitulah kebanyakan orang menyebutnya. Generasi yang hidup dalam kemajuan informasi dan teknologi ini tentu saja memiliki pola hidup berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Perubahan besar-besaran akan terjadi di berbagai aspek kehidupan, tak terkecuali dunia pendidikan. Dalam hal ini pesantren pun akan mengalami tantangan baru untuk bisa tetap berdiri ditengah-tengah generasi milenial.

Teknologi dengan cepat telah mengubah banyak hal dalam hidup. Jika sebelumnya manusia sangat tergantung pada alam, kini banyak hal bisa dikendalikan, cukup dengan sentuhan tangan di telepon atau perangkat cerdas lainnya. Mereka yang memiliki teknologi paling canggih akan mengendalikan pihak lain. Karena itu, banyak negara memberi dukungan pengembangan teknologi sebagai sarana memenangkan persaingan dengan negara lain. Masing-masing berusaha menjadi yang terdepan. 

Perusahaan teknologi berusaha menjadi yang tercepat dalam meluncurkan produk baru. Hasilnya adalah percepatan penemuan teknologi baru. Kini, teknologi digital menjadi pusat perhatian para pengembang teknologi.

Teknologi digital yang salah satunya berwujud dalam bentuk internet mampu memberi solusi pada banyak hal yang sebelumnya mustahil. Apa yang dahulunya susah dijangkau, kini hanya dengan genggaman tangan telah terhubung. Dunia telah menjadi desa global karena apa yang terjadi di satu bagian dunia, bisa secara langsung dihadirkan di bagian lainnya. Upaya pengembangan dari teknologi digital saat ini salah satunya adalah, teknologi kecerdasan buatan (artifisial intelegence) yang memungkinkan komputer atau mesin bisa mengerjakan sesuatu tanpa diperintah manusia. Para ahli mengkategorikan hal ini sebagai bagian dari revolusi industri 4.0.

Sejarah revolusi industri dimulai dari 1.0 ketika mesin uap ditemuan yang pada akhirnya memunculkan mesin-mesin untuk produksi yang menggantikan tenaga manual manusia. Revolusi industri 2.0 terjadi saat muncul tenaga listrik dengan produksi massal dan standarisasi mutu. Revolusi industri 3.0 berjalan saat muncul komputer dan otomatisasi dan selanjutnya revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan digitalisasi manufaktur yang diakibatkan oleh kekuatan komputasi dan konektivitasnya serta kecerdasan buatan. Salah satu produknya adalah internet of thing, yang mana segala sesuatu dikerjakan secara otomatis. 

Pesantren, sekalipun mendidik para santri untuk tafaqquh fid dîn, juga dituntut untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Bukan hanya bagi mereka yang akan akan terjun dalam berbagai profesi selain bidang keagamaan, bahkan, bagi mereka yang akan menekuni dunia dakwah dan pengembangan Islam pun, pemahaman akan teknologi dan pemanfaatannya dalam media dakwah juga sangat penting. 

Teknologi juga membantu memudahkan proses belajar mengajar di pesantren. Metode yang mengandalkan hafalan sebagaimana masih berjalan, perlu dievaluasi ulang seiring dengan adanya teknologi pembelajaran terbaru yang melibatkan teknologi digital. Dulu, untuk mempelajari Bahasa Arab, para santri harus menghafalkan kitab Alfiyah sebanyak seribu bait. Dibutuhkan waktu yang lama untuk menguasai hal tersebut. Kini, beragam aplikasi belajar bahasa Arab dapat diunduh dengan gratis dan dipelajari dengan mudah dengan hasil yang cepat. 

Dengan sejumlah kesempatan untuk pemanfaatan teknologi ini, sayangnya pesantren masih menghadapi sejumlah tantangan dalam pemanfaatannya. Pertama, sebagian besar pesantren belum mengizinkan penggunaan beragam perangkat teknologi digital oleh para santri dalam proses belajar mengajar. Ada aspek positif dan negatif dari kebijakan ini. Sisi positifnya, santri bisa fokus belajar dan terhindar dari konten-konten negatif yang tersebar melalui beragam peralatan canggih tersebut. Dampak buruknya adalah, mereka terhambat dalam pemanfaatan teknologi terbaru dalam proses belajar mengajar yang semakin efektif dan efisien. 

Faktor kedua, ketersediaan sarana dan prasarana teknologi yang belum memadai. Tak banyak pesantren yang memiliki laboratorium komputer dan perangkat teknologi digital terkini untuk membantu pengajaran materi-materi keagamaan dengan basis teknologi ini. Memang, dibutuhkan biaya mahal untuk berinvestasi dalam teknologi. Hal ini yang menjadi kendala bagi banyak pesantren.  

Terdapat pesoalan yang dapat diselesaikan masing-masing pesantren seperti pengaturan penggunaan teknologi digital agar diperolah manfaat sekaligus menghindari dampak negatif yang mungkin timbul. Terdapat persoalan yang dapat diselesaikan oleh pesantren seperti pembuatan panduan kurikulum untuk mengenalkan teknologi kepada para santri. Terdapat permasalahan yang lebih besar seperti dukungan dana dan infrastruktur serta pengakuan lulusan pesantren. Hal ini perlu melibatkan para pemangku kepentingan yang lebih besar seperti pengambil kebijakan di kementerian terkait.

Penulis: Siti Nafisah 
Mahasiswi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu  Tarbiyah dan Keguruan
UIN Walisongo Semarang







Lebih baru Lebih lama