Nasib Budaya Lokal dalam Derasnya Arus Global

Carujuki.com 
Indonesia merupakan negara kesatuan yang dilimpahi keragaman budaya, bahasa, ras, suku dan agama. Semua itu terangkum dalam wadah bernama Bhineka Tunggal Ika, yang berarti berbeda-beda tapi satu jua. Hal tersebut menjadikan adanya kondisi masyarakat yang multikultural. Misal contoh konkretnya, budaya mayarakat Indonesia bagian Sabang tidak dapat disamakan dengan budaya masyarakat Indonesia yang berada di Marauke.

Adanya luas wilayah yang dimiliki Indonesia menjadikan Indonesia semakin kaya akan budayanya. Badan Pusat Statistik mengatakan bahwa jumlah budaya yang ada di Indonesia adalah 7241 karya budaya. Semua dimiliki oleh setiap wilayah-wilayah yang ada di Indonesia dan memiliki karakter budaya masing-masing.

Berangkat dari 7241 karya budaya yang dimiliki Indonesia, hal tersebut menjadi sebuah tantangan yang perlu diamati untuk kemudian dihadapi. Menurut Wilhem (2000) perusakan budaya dimulai sejak masa teknologi informasi seperti satelit dan internet yang berkembang. Mengingat kejayaan teknologi informasi semakin menjulang tinggi menembus puncak dunia.

Jelas budaya lokal haruslah berjuang mempertahankan keeksistensiannya pada masyarakat lokal, generasi muda khusunya dan kepada dunia. Agar tidak dikalim oleh negara lain. Kemudian tidak hanya stagnan untuk mempertahankan, namun menginovasikannya dengan suatu hal yang kreatif namun masih menjaga nilai-nilai budaya.

Problematika Budaya Lokal 

Ketika budaya asing masuk ke dalam budaya lokal, tidak menutup kemungkinan terlahirlah kolaborasi budaya yang mendunia nantinya. Kolaborasi dua budaya yang mahal nilainya untuk sekedar diperjual belikan. Namun, semua itu hanya menjadi angan dan harapan yang menyenangkan untuk dirasa. Pada kenyataannya, budaya lokal tenggelam oleh derasnya ombak budaya asing yang menghantam.

Sejarahnya mulai abad ke-16 kolonisme Belanda menggeser budaya lokal untuk lebih dekat ke Barat. Tetapi, pergeseran itu tidak berhasil dilakukan dan pastinya tidak menghasilkan suatu perubahan. Misal dalam kebudayaan Jawa, strategi budaya ngeli tanpa ngeli yang artinya menghanyut tetapi tidak benar-benar hanyut dalam mengahadapi gelombang perubahan zaman.

Namun situasi itu jauhlah berbeda dengan masa sekarang, ditandai dengan skala globalisasi telah berubah. Karena dunia mengalami revolusi teknologi yang memiliki globalizing force dominan sehingga batas antar wilayah semakin kabur dan berujung pada terciptanya global village. Sehingga memunculkan permasalahan pada lunturnya budaya lokal ataupun warisan budaya.

Bukti lunturnya warisan budaya lokal adalah dengan life style bangsa saat ini. Banyak dari generasi muda yang berpakaian dan berbicara meniru gaya hidup orang barat. Bahkan mereka bangga dengan gaya barat yang mereka anut. Contoh, masyarakat mengenakan baju setengah jadi dan mereka bangga dengan bahasa asing, padahal bahasa daerah sendiri mereka tidak bisa.

Selain itu, banyak juga masyarakat yang lupa dengan budaya ramah tamah. Padahal ramah tamah adalah identitas bangsa di mata dunia, karena masyarakat lebih mengedepankan media daripada lingkungan di sekitarnya. Tidak hanya berpakaian, bericara, dan bersosial namun juga pola konsumsi masyarakat banyak yang beralih pada junkfood ataupun makanan-makanan yang serba instan dan cepat.

Pola semacam itu, menjadikan masyarakat menilai kencangnya arus globalisasi justru mendorong terciptanya kecepatan, efesiensi dan efektivitas dalam segala hal. Mereka tergiur dengan semua itu sehingga hanyut secara perlahan oleh arus globalisasi.

Pelestarian Budaya Lokal

Sebuah budaya lahir karena dihargai dan untuk dihargai, karena sebuah budaya memiliki karakter yang pantas untuk dilestarikan dan dipertahankan nilai kulturnya. Karakter pembangunan budaya tentunya mendorong semua pihak masyarakat dalam menghadapi arus globalisasi. Hal tersebut dapat membuka proses lintas budaya dan silang budaya yang secara berkelanjutan akan mempertemukan nilai-nilai budaya satu dengan lainnya.

Tenggelamnya nilai-nilai budaya lokal oleh budaya asing sangatlah miris. Sebagai masyarakat khususnya generasi budaya harusnya mampu bersaing di kancah Internasional dalam memperkenalkan budaya lokal. Bukan malah mengadopsi bahkan terus menerus mengonsumsi budaya asing, tanpa menyisihkan ruang budaya lokal di hati.

Mengonsumsi budaya asing janganlah ditelan secara mentah. Ingatlah bahwa di dalam diri terdapat gizi sehat dari budaya lokal. gizi yang menjadikan generasi muda pandai memilah dan memilih budaya asing. Tidak lupa dengan peran keluarga, guru bahkan lingkungan masyarakat. Semuanya harus saling kerjasama satu sama lain, agar tercipta rasa menjaga yang kuat.

Budaya lokal harus dipelajari dan dijaga, begitu juga dengan budaya asing yang masuk tidak bisa dipungkiri pasti diterima oleh masyarakat. Keduanya harus dikolaborasikan dengan padu dan harmonis. Sehingga tercipta dua budaya yang baik untuk dikembangkan dan dilestarikan tentunya.

Pelestarian budaya dapat dengan cara memanfaatkan suatu yang ada. Mengingat bahwa zaman sekarang adalah zaman millenial atau yang biasa dikenal serba serbi media sosial, dengan itu bisa menjadi peluang bagi masyarakat khusunya generasi muda. Peluang untuk mampu memperkenalkan budaya lokal ke mata Internasional. Jadi, tidak hanya buday asing yang dipandang oleh lokal, namun budaya lokalpun harus dipandang bahkan dihargai oleh Internasional.

Penulis: Ni'maturrahmah
Mahasiswi Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Walisongo Semarang 
Lebih baru Lebih lama