Santri dan Revolusi Industri 4.0




Gambar: www.gontor.ac.id 
Dari dulu sampai sekarang, santri tetap menjadi primadona tersendiri di kalangan masyarakat. Hal ini karena anggapan bahwa santri sebagai manusia yang serba bisa. Santri yang menimba ilmu di pesantren tentu diajarkan berbagai macam kitab. Sehingga tak ayal jika output dari lulusan pondok pesantren dianggap bisa mengurusi segala permasalahan yang ada di tengah-tengah masyarakat. 
Kemajuan teknologi, komunikasi, dan informasi menuntut setiap insan untuk senantiasa mengikuti segala perubahan. Namun setiap perubahan pasti ada dampak positif dan negatifnya. Untuk menyikapi hal ini, kaum santri sudah ditanamkan dalil untuk mengejawantahkan kemajuan teknologi ini, yaitu dar'ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih. Artinya, mencegah kemudaratan lebih prioritas dibanding menarik kemanfaatan. 
Perubahan zaman saat ini ditandai dengan semakin banyaknya pengguna internet di Indonesia. Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis hasil survei tentang penetrasi dan perilaku pengguna internet Indonesia pada 2017.  Di tahun 2016, pengguna internet Indonesia hanya mencapai 132,7 juta jiwa. Sekretaris Jenderal APJII, Henri Kasyfi Soemartono, mengatakan ada peningkatan jumlah pengguna internet Indonesia menjadi 143,26 juta jiwa pada 2017 atau setara 54,7% .dari total populasi penduduk Indonesia. Sebagai catatan, data populasi penduduk Indonesia tercatat berjumlah 262 juta orang. 
Awal mula adanya Revolusi Industri 4.0 ditandai dengan revolusi digital yang diprakarsai oleh Jerman pada tahun 2011. Secara teoritis, penekanan – penekanan yang yang menopang sistem Revolusi Industri 4.0 adalah Internet of Things, Artifcial Intelligence, Human-Machine Interface, teknologi robotik dan sensor, serta teknologi 3D Printing. Semua elemen ini harus benar-benar dikuasai supaya Revolusi Industri 4.0 dapat digenggam.
Perubahan dan perkembangan Revolusi Industri 4.0 sangat dinamis dan disruptif. Sehingga menuntut seluruh manusia untuk senantiasa mengikuti perkembangan dengan baik. Tidak ketinggalan pula kaum santri, yang notabenenya kaum terpelajar, terutama di bidang agama. Di era milenial ini, kaum santri tidak hanya dituntut untuk menguasai ilmu-ilmu agama saja. Namun juga dituntut untuk pandai dalam membaca situasi dan peluang kemajuan zaman.
Ketika pandai dalam membaca situasi dan peluang kemajuan zaman, kaum santri akan lebih fleksibel dalam berbaur dalam masyarakat modern. Kesan santri yang kolot perlahan-lahan akan terlepas dengan sendirinya. Di sinilah bukti bahwa kaum santri bisa open minded terhadap sekitarnya. Berbagai terobosan-terobosan dari kaum santri sangatlah dinantikan oleh masyarakat modern saat ini.
Tidak menutup kemungkinan bahwa kaum santri bisa merakit sebuah robot yang bisa membantu pekerjaan manusia. Sehingga kerja manusia telah terotomasi dengan teknologi digital. Dalam bidang pendidikan, pembelajaran melalui Artificial Intelligence (kecerdasan buatan) masih menjadi primadona bagi generasi milenial. Kesan pembelajaran yang menyenangkan dan mengasyikan bisa menambah daya tarik dalam belajar, terkhusus santri.
Tugas kaum santri dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0 yaitu terus berinovasi dan mengembangkan kreativitas. Mengingat, era sekarang ini bukanlah era kompetitif, melainkan era kolaboratif. Sehingga tidak menutup kemungkinan untuk bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mengembangkan kreatifitas secara kolektif. Serta jangan sampai menutup diri dari dunia sekitarnya.
Pastinya perlu pengawalan dan dukungan langsung dari pemerintah dalam hal pengembangan kreativitas kaum santri. Merekalah kaum yang bergerak mengintegrasikan ilmu keislaman khas pesantren dengan ilmu umum yang dinamis akan perkembangan kemajuan zaman. Sehingga bisa memberikan sumbangsih maksimal demi merealisasikan jargon yang diusung pemerintah, yaitu, Make Indonesia 4.0.


Penulis: Muchamad Iqbal Najib
Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang  

Lebih baru Lebih lama