Santri Bukan Sekadar Ngaji



Gambar: www.arah.com 
Pada dasarnya santri tidak hanya meneruskan perjuangan agama, namun juga perjuangan bangsa. Apalagi di era globalisasi seperti ini, santri dituntut untuk mampu mengikuti perubahan zaman. Jika tidak bisa dan hanya beranggapan bahwa tugas santri hanya menuntut ilmu agama saja, maka ia akan tertinggal baik segi pendidikan maupun teknologi. Sebab itu,  santri juga dituntut untuk mempunyai skill lainnya agar mampu menyeimbangkan diri dengan kondisi zaman. 
Santri mempunyai peran penting bagi bangsa Indonesia melalui ilmu agama yang telah dipelajari. Santri dapat membekali dirinya ketika terjun di masyarakat, khususnya dalam hal perilaku atau sikap. Dengan adanya pendidikan karakter yang sudah diajarkan di pesantren, santri mampu meminimalisir dekadensi moral yang mewabah di Indonesia.
Di sisi lain, teknologi yang terus berkembang menuntut semua orang untuk mengikutinya. Jika santri tidak bisa mengikuti hal tersebut dan bahkan berpikir bahwa teknologi itu tidak penting, selamanya tidak akan maju dan akan kalah dengan orang-orang lainnya. Misalnya dalam penyebaran informasi dan ilmu melalui media sosial atau dunia maya. 
Selain itu, santri juga harus mempunyai skill- skill lainnya agar menjadi bekal setelah tamat dari pesantren. Seperti halnya pandai berbahasa asing dan berwirausaha. Karena dari dulu sampai sekarang, santri dijudge dengan kalimat “lulusan santri mau jadi apa?”. Hal ini lantaran masyarakat berpikir bahwa santri hanya mengkaji ilmu- ilmu agama saja dan tidak belajar ilmu umum ataupun bidang keterampilan lain. Sehingga banyak juga yang bilang bahwa lulusan santri itu kolot tidak tahu dunia luar. 
Santri harus menghilangkan pemikiran tersebut dari  masyarakat. Dengan belajar ilmu ilmu pengetahuan yang non agama, jika perlu ditambah dengan ilmu keterampilan. Di mana nanti setelah lulus santri juga tidak kebingungan untuk mencari pekerjaan karena sudah dibekali dengan pengalaman. Dalam dunia santri sendiri, mengaji memang hal yang paling utama. Karena niat mereka satu tujuan yaitu lillahi ta’ala. Namun,  akan  menjadi lebih baik lagi jika dalam segala bidang ia mampu mengusai dengan tujuan lillahi ta’ala, dan dalam rangka menyiarkan agama Islam.
Salah satu yang menjadi masalah bagi santri ialah bahwa tidak adanya pengakuan terhadap lembaga- lembaga pendidikan agama. Hanya beberapa saja ijazah nasional mereka diakui negara. Hal inilah yang menyulitkan para santri karena pendikotomian pemerintah terhadap santri, dengan tidak diakuinya ijazah dari lembaga pesantren. 
Padahal dalam dunia pesantren, santri- santri juga belajar dan melalui sistem yang sama dengan sekolah di bawah naungan Kemendikbud atau Kemenag.  Dalam pesantren sendiri kelulusan mereka juga melalui tahapan-tahapan baik secara tertulis ataupun prektik. Apalagi dalam dunia pesantren, pendidikan karakter lebih ditekankan kepada santri-santrinya karena mereka hidup dalam satu atap, dan dinilai mempunyai jiwa sosial lebih baik lagi, karena di pesantren mengajarkan bagaimana menghargai orang lain.
Dilansir dari Tirto.di (22/10/2017) Ketua MPR RI, Zulkifli hasan berharap kepada pemerintah agar memperhatikan kualitas sarana dan pendidikan para santri, sehingga mereka akan memiliki daya saing dan dapat berkompetisi secara global. Saat ini pun sudah banyak pesantren yang berbasis teknologi ataupun wirausaha. Karena para pegasuh dan  masyarakat juga menyadari bahwa santri membutuhkan skill lain. Hal tersebut juga merupakan salah satu upaya  untuk menciptakan negara berkemajuan dengan membina masyarakat yang tidak hanya pandai dalam agama saja tetapi juga non-agama seperti ilmu umum dan keterampilan. 
Jika menengok sekarang ini, banyak pesantren yang sudah mulai mengembangkan skill santrinya, seperti Pondok Modern Gontor yang menerapkan bahasa dalam kesehariannya, Pondok pesantren Maskumambang di Jawa Timur yang berbasis IT serta pesantren- pesantren  lainnya yang sudah mampu bersaing dikancah nasional. Tidak hanya itu, ada pula pesantren yang masih berbasis salaf dengan memberikan kegiatan keterampilan seperti bermain musik, yaitu Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang dengan memberikan  keterampilan marching band dan rebana bagi santri yang ingin mengembangkan bakat.
Selain itu, para orang-orang terkemuka, pejabat penting negara, sampai dengan penulis banyak berasal dari santri. Mereka mampu mengembangkan bakat dengan bekal pengalaman nyantrinya. Seperti Ahmad Fuadi,  santri lulusan Gontor yang terkenal dengan novelnya yang berjudul Negeri Lima Menara. Kemudian Alwi Sihab merupakan jebolan santri dari salah satu pesantren di daerah Malang, pernah menjabat sebagai menteri dalam pemerintahan Gus Dur dan Susilo Bambang Yudoyono. Bahkan yang terdengar familiar ialah KH Abdurrahman Wahid, mantan presiden Indonesia, sekaligus tokoh terkemuka di Indonesia.
Ini membuktikan bahwa lulusan pesantren tidak hanya berkutat mengenai ilmu agama saja. Tetapi juga dalam berbagai bidang seperti politik, kepenulisan, dan sebagainya. Jika santri hanya berpikir bahwa dengan menuntut ilmu agama sudah cukup, tentu akan menyusahkan dirinya sendiri dalam berkembang di zaman yang sudah berkembang pesat seperti sekarang ini. Maka dari itu, sebagai santri juga harus mampu memposisikan dirinya dan mencukupi kebutuhan yang diperlukan bagi dirinya nanti ketika lulus dengan tetap mempertahankan ilmu agamanya. 
Apalagi dengan perkembangan zaman yang begitu pesat santri. Santri harus mampu mengikutinya dengan baik agar tidak ketinggalan zaman dan kehilangan identitas diri sebagai santri. Bagaimana jadinya jika santri hanya mementingkan ilmu agama saja, tanpa mau tahu perkembangan dunia selain agama, padahal ia juga akan terjun di masyarakat? Mari kita renungkan sejenak.

Penulis: Dina Arifana 
Mahasiswi Studi Agama-agama UIN Walisongo Semarang
Lebih baru Lebih lama