Menyikapi Pergantian Tahun Baru Masehi



Dok.: www.thenewtowntheatre.com

Pergantian tahun Masehi yang biasanya dirayakan pada malam hari bisa dikatakan sudah menjadi tradisi global yang dipraktekkan tidak hanya di Indonesia, namun juga seluruh dunia. Semua kalangan lintas demografi usia dan strata sosial ikut larut dalam sukacita dalam menyambut tahun baru melalui beragam aktivitas dalam suasana kebersamaan dan kemeriahan.

Namun dibalik itu semua, bagi sebagian orang perayaaan tersebut kerap kali mengundang kegundahan dan kegelisahan berupa dilema konsepsional perihal kebolehannya. Secara historis budaya perayaan tahun baru memang selalu dihubungkan tradisi non-muslim dan kerap kali menimbulkan pertanyaan seputar “kepantasan” dalam merayakannya.

Ada pendapat yang dipegang oleh kalangan umat muslim yang menyebutkan bahwa perayaan tahun baru Masehi termasuk praktik “tasyabbuh”, yang artinya mengikuti atau meniru perilaku dari orang-orang non muslim. Tentu tidak semua aktifitas mengikuti tradisi non-Muslim adalah terlarang.
Tasyabbuh yang dilarang secara syar’i adalah menyerupai orang-orang kafir dalam dalam aqidah, ibadah, ataupun dalam pola tingkah laku yang menunjukan ciri khas mereka (kaum kafir), terutama dalam hal ritual ibadah.

Terlepas dari sejarahnya, sejatinya tak perlu ada lagi perdebatan panjang perihal halal haramkah perayaan tahun baru masehi. Karena hal ini merupakan perbedaan cara pandang dalam menentukan tanggal melalui matahari dan bulan. Kalender matahari dianut tahun Masehi dihitung berdasar revolusi bumi (peredaran bumi mengelilingi matahari). Sedangkan kalender bulan dianut tahun Hijriah dihitung berdasarkan revolusi bulan (peredaran bulan mengelilingi bumi).

Kalaupun ritual perayaan tahun baru yang dilakukan non muslim dahulu berupa hal-hal yang tidak baik, sebagai umat muslim maka kita harus bisa mengisinya dengan hal-hal yang bernilai positif. Terlebih tahun masehi dijadikan sebagai penanggalan nasional, maka umat muslim sebagai mayoritas penduduk di Indonesia harus menjadikan momen tersebut agar sarat akan hal-hal positif. Meskipun umat muslim sudah memiliki sendiri perayaan tahun baru yaitu tahun Hijriah yang diperingati setiap tanggal 1 Muharram.

Baca JugaMenjadi Muslim Ideal

Selama ini memang perayaan tahun baru Masehi cenderung kepada perbuatan yang hura-hura, menghambur-hamburkan uang, bahkan terkadang juga terjadi hal-hal kemungkaran seperti pesta minuman keras, narkoba dan lain sebagainya.
Dalam menyikapi fenomena tersebut, dapat kita pahami melalui sabda Rasulullah SAW dalam menyikapi kemungkaran yang tercantum di hadits ke-34 Arba’in Nawawi yang berbunyi:

عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
   
Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahu anhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Siapa yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. (HR. Muslim)

Dari hadits diatas, dapat kita pahami melalui redaksi “fal-yughayyirhu” yang berarti “maka ubahlah”. Artinya, penanganan kemungkaran tidak melulu melalui prosedur larangan (nahi munkar), dapat juga melalui prosedur perubahan (taghayyur).

Sebagai contoh, hal tersebut pernah dipraktikan oleh Walisongo salah satunya menggunakan wayang sebagai alat menyebarkan Islam. Sama halnya kegiatan malam tahun baru di isi dengan do’a, dan hal-hal positif lain yang lebih bermanfaat. Meskipun kemudian tetap ada semacam ucapan selamat tahun baru atau bentuk apresiasi suka cita dengan kembang api sebagai wujud kebahagiaan menyambut tahun baru masehi. Selama itu tidak dilakukan secara berlebihan tidak menjadi masalah.

Karena dalam Islam pun, hal yang diperbolehkan saja jika dilakukan secara berlebihan akan menjadi haram, seperti makan dan minum berlebihan. Bahkan dalam ritual ibadah pun seperti itu, sebagai contoh dalam bersuci, berwudhu ataupun mandi jika dilakukan secara berlebihan melewati batas kewajaran maka bukan lagi dinilai sebagai pahala.

Pada prinsipnya, adanya perayaan tahun baru yang dimaksud bukanlah pada pesta kembang api, bakar-bakaran dan lain sebagainya, namun dijadikan sebagai sarana untuk introspeksi dan muhasabah diri. Yakni menilai diri sendiri sudah sejauh mana kepribadian dan amal perbuatan selama setahun ke belakang sehingga timbul kesadaran bahwa mulai tahun baru ini adalah waktunya untuk memperbaiki diri. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya perayaan tahun baru tersebut diisi dengan hal-hal yang bermanfaat bukan malah untuk berhura-hura. Wallahu a’lam bish shawab.

Oleh : Akmal Nur Abadi
(Presiden Ponpes Bina Insani Periode 2018/2019)

Lebih baru Lebih lama