Ironi Dakwah Islam Masa Kini

Dutaislam.com
“Rokok haram, tidak ada kebaikan dalam rokok. Rokok tidak ada manfaatnya sama sekali. Rokok jelek, gak ada yang bilang rokok itu baik. atau orang kafir. Kalau akalnya waras, ya tinggalkan rokok itu. Itu mubazir, buang-buang duit. Dan mubazir itu temannya setan. Kalau masih ada ustaz yang ngerokok, itu ga waras,” 

Saya tidak sengaja mendengar kata-kata itu dari smartphone teman asrama saya. Ternyata dia sedang menoton vidio ceramah dari seorang pendakwah terkenal di Indonesia melalui Youtube. Vidio berdurasi tiga menit 40 detik itu diposting di Channel Jeda Kajian Sunnah dan sudah mendapatkan 62 ribu viewers serta 123 komentar.

Beragam tanggapan dari netizen mewarnai kolom komentar. Berwarna-warni, sebagian setuju dengan pendapat tersebut, sebagian lagi menolak. Tetapi yang jelas, ketika mendengar pendakwah melontarkan kalimat itu, seketika saya menggigit bibir dan menggeleng-gelengkan kepala. Begitu miris. Di hadapan ratusan jemaah, si pendakwah begitu lantang dan tegas mengatakan bahwa rokok hukumnya haram. Bahkan tanpa beban ia mengatakan, “Kalau masih ada ustaz yang merokok, itu ga waras.”

Terkait hukum rokok memang terdapat pendapat yang berbeda-beda. Ada ulama yang mengharamkan, ada juga yang membolehkan. Namun saya tidak mau membahas terlalu jauh tentang hukum rokok. Lebih tepatnya, saya tidak berhak untuk memutuskan hukum tersebut.

Perhatian saya tertuju kepada pesan ceramah yang disampaikan pendakwah tadi. Sebagai pendengar, saya merasa sedikit keberatan ketika pendakwah begitu mudah memutuskan hukum tanpa perhitungan matang. Tidak melihat dan mengkaji terlebih dahulu kondisi sosial dan kebudayaan masyarakat.

Lebih parah lagi, si pendakwah malah menjelek-jelekkan orang yang berbeda dengan pendapatnya. Padahal notabenenya ia adalah pendakwah, seorang penyebar ajaran Islam. Dan tentunya setiap ucapan yang keluar dari mulutnya akan didengar dan disaksikan oleh ribuan umat Islam. 

Terlalu Mudah Berfatwa 

Rupanya tidak sedikit pendakwah di Indonesia yang demikian. Amat banyak ceramah yang terkesan ‘kurang damai’ dan cenderung ‘mengajak perang’. Terutama di media sosial, para pendakwah dengan lidah licin begitu mudah mengeluarkan fatwa dan mengukumi suatu perkara dengan emosional. Mereka sering mengatakan “Haram”, “Sesat”, “Bid’ah”, “Musyrik” kepada orang yang berseberangan jalan dengannya.   

Fenomena saling menyesatkan tersebut tampak begitu marak dilontarkan para pendakwah. Seolah hanya mereka mahluk yang paling suci dan paling paham tentang ilmu agama. Dengan hanya mengutip sebagian ayat Alquran dan hadis, kemudian menginterpretasikan secara tekstual dan subjektif. Padahal, Alquran dan hadis masih perlu dikaji lebih dalam. Untuk memutuskan hukum juga tidak boleh tergesa-gesa, harus menyesuaikan kondisi sosial yang terdapat di suatu daerah. 

Bukan apa-apa, cuma akan berbahaya jika konten dakwah seperti itu dikonsumsi oleh orang awam. Apalagi di era di digital seperti ini, masyarakat lebih suka kajian-kajian keagamaan di media sosial. Jika mendengar pendakwah yang mudah mengharamkan suatu perkara, bisa jadi orang awam akan mengangguk-anggukkan kepala dan membenarkan begitu saja. 

Sebenarnya saling menyesatkan dan menjelek-jelekkan pendapat orang lain tidaklah dibenarkan dalam Islam. Apalagi dalam berdakwah, tentunya harus bisa memilah dan memilih diksi yang akan disampaikan. Tidak secara terang-terangan mengutuk orang lain yang tidak mau mengikuti pendapatnya.

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Buchori, Nabi Muhammad bersabda, “Tidaklah seorang memvonis orang lain sebagai fasik atau kafir, maka akan kembali kepadanya jika yang divonis tidak demikian.” 

Sebagai pendakwah, seharusnya sudah bisa memahami hadis di atas. Bahwa Nabi Muhammad melarang umatnya untuk menjustifikasi orang lain dengan keburukan. Apalagi hal itu disampaikan di depan publik.
 
Majelis Kibrul Ulama Saudi Arabia menetapkan bahwa pengkafiran adalah hukum syariat yang merupakan hak prerogatif milik Allah dan RasulNya semata. Sebagaimana penghalalan dan pengharaman, mewajibkan dan melarang, semuanya itu adalah hak Allah dan RasulNya.  Sebagai manusia biasa, tidak patut jika kita memutuskan hukum perkara secara subjektif. Mengharamkan dan menyesatkan suatu masalah tanpa dasar dan pertimbangan yang kuat. Tetapi mengapa masih ada pendakwah yang melakukan hal ini? 

Menghargai Perbedaan Pendapat

Nabi Muhammad sebagai pembawa agama Islam mengajarkan kita untuk bersikap terbuka dan saling menghormati perbedaan. Dalam hal ini, para pendakwah yang menjadi penyebar ajaran Islam sudah sepatutnya mencontoh sikap nabi tersebut. Maka, perbedaan pendapat yang terjadi haruslah disikapi dengan bijak.

Tetapi fenomena yang terjadi tidak demikian. Perbedaan pendapat malah dijadikan ajang untuk saling menjelek-jelekkan dan menyesatkan orang lain. Saat ini yang terjadi adalah klaim kebenaran, menganggap bahwa pendapat sendirilah yang paling benar dan harus dijalankan.  Padahal kebenaran yang mutlak hanyalah milik Allah semata.

Kita semua percaya bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin, agama yang mengajarkan kebaikan dan kedamaian bagi seluruh mahluk di muka bumi. Namun karena masalah perbedaan pendapat yang tidak bisa disikapi dengan baik, masih ada pendakwah yang menyampaikan ceramah dengan model ‘kurang damai’ dan cenderung ‘mengajak perang’.

Perbedaan pendapat sudah selayaknya disikapi dengan bijak. Bukan malah dijadikan ajang untuk saling menghina dan menebar kebencian. Saya tiba-tiba teringat sebuah syair karya Gus Nizami yang berjudul “Syi’ir Tanpo Waton”. Berikut bunyi potongan syair yang ditulis menggunakan bahasa Jawa:

Akeh kang apal Qur’an Haditse
Seneng ngafirke marang liyane
Kafire dewe dak digatekke
Yen isih kotor ati akale

Potongan syair di atas sepertinya relevan dengan kondisi Islam saat ini. Terkadang kita sibuk mencari-cari kesalahan dan keburukan orang lain, tetapi tidak memperhatikan keburukan diri sendiri. Bahkan kondisi ini dilakukan oleh orang yang dikenal memahami ilmu agama, hafal ayat-ayat suci Alquran maupun hadis.

Memang inilah realita yang terjadi. Terkadang kita melupakan satu hal penting, yakni perbedaan adalah sebuah anugerah Tuhan yang harus disyukuri. Nabi Muhammad pernah bersabda, “Perbedaan pendapat pada umatku adalah rahmat,”. Tetapi mengapa kita tidak pernah dewasa dalam menghargai perbedaan pendapat?  Karena berbeda pendapat, kita malah semakin membenci dan menghina orang lain.

Fenomena ini begitu marak terjadi di kajian-kajian online. Para pendakwah yang terlalu mudah mengeluarkan fatwa dan menyesatkan pendapat lain. Terlalu percaya diri menganggap pendapat pribadi paling benar, seolah merekalah yang paling paham ilmu agama. Secara tidak sadar, model dakwah seperti itu justru dapat menimbulkan citra negatif dalam Islam. Bukankah Islam yang kita kenal adalah agama rahmatan lil alamin? Maka selayaknya dalam berdakwah juga harus disampaikan dengan damai dan tidak boleh menghina orang lain.

Penulis: Athok Mahfud
Mahasiswa Jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Walisongo Semarang 
Lebih baru Lebih lama