Santri Sahih Tidak Asal Pilih

Ilustrasi: tribunjabar.co

Di tahun politik sekarang ini, semua orang dituntut untuk melek politik, tak terkecuali para santri. Karena seorang santri yang sudah berkewajiban memilih pemimpin, maka bisa ikut andil dalam menyuarakan pilihannya dalam Pilpres 2019 mendatang. Dalam hal ini, santri perlu belajar ilmu politik, tidak hanya ilmu agama saja.   
Pondok pesantren mempunyai peran sebagai lembaga pendidikan keagamaan (tafaqquh fi addien) dan sebagai lembaga layanan sosial kemasyarakatan (dakwah). Sebagai lembaga dakwah yang berhubungan dengan kemasyarakatan, sangat menarik perhatian para politisi sebagai pengangkat suara politiknya, (Djamaluddin, 2001). Dalam pernyataan tersebut, santri haruslah memiliki sikap kritis terhadap kegiatan politik agar tidak menjadi korban dari praktik politik itu sendiri. Jika tidak, maka santri tidak mustahil untuk dijadikan sebagai jembatan politik bagi para politisi. 
Dari pengalaman Pemilu waktu lalu, tidak sedikit dari aktor politik yang menggandeng tokoh-tokoh agama dan sering menyambangi pondok pesantren. Hal ini seolah menjadi tradisi di mana suara santri dan kiai sangat diperebutkan oleh aktor politik. Maka dari itu, para santri diharapkan kritis melihat rekam jejak para calon presiden dan wakilnya yang akan memimpin Indonesia tahun depan.

Menilik Calon Pemimpin
Pada Pilpres tahun 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan dua calon presiden dan wakil presiden. Pasangan Joko Widodo - Ma’ruf Amin di nomor urut 1 dan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno di nomor urut 2. Dalam Pilpres kali ini juga dapat dilihat bahwa calon presiden dan wakil presiden melibatkan santri dalam mencari suara.
Misalnya Ma’ruf Amin yang dipilih Jokowi sebagai pasangan menimbulkan pro dan kontra masyarakat. Masyarakat yang pro menganggap bahwa sangat benar tindakan Jokowi karena masyarakat merindukan sosok yang agamis untuk menjadi pemimpin. Sedangkan pihak kontra beranggapan bahwa Jokowi tidak konsisten terhadap pernyataannya terdahulu yang tidak melibatkan tokoh agama untuk menjadi pendampingnya. Dalam hal ini, Jokowi seolah menjilat ludahnya sendiri. 
Sedangkan pasangan nomor urut 2 mendadak sering menyambangi pondok pesantren akhir-akhir ini. Entah hal itu panggilan hati nuraninya atau hanya pencitraan yang tujuannya untuk mengambil hati masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Bahkan Sandiaga disebut sebagai santri post-Islamisme oleh salah satu tokoh politik Indonesia. Hal itu diungkapkan karena Sandiaga memiliki kedekatan dengan tokoh-tokoh agama, pragmatis, realistis, bersedia berkompromi dan tidak lagi terobsesi dengan penerapan ajaran Islam yang kaku.

Future Expectations
Selain dari santri, sosialisasi mengenai politik memang sangat penting, terutama pada santri di pondok pesantren. Hal ini dilakukan untuk mengurangi sikap apatis santri terhadap politik. Sikap apatis akan mengakibatkan santri asal pilih pemimpin tanpa melihat profil dan rekam jejak para calom pemimpin itu. Pentingnya kesadaran untuk lebih kritis terhadap politik dan memilih seorang pemimpin harus ditanamkan pada diri masyarakat Indonesia.
Untuk mengatasi ketidakpahaman tentang politik, pondok pesantren perlu memberikan gambaran umum terhadap santri. Tujuannya, santri tidak asal pilih atau ikut-ikutan saja. Karena jika memilih tidak didahului dengan menggali informasi mengenai calon kandidat, maka hal tersebut akan berakibat fatal. Sementara di era digital ini, santri diharapkan tidak menelan mentah-mentah apa yang sudah disajikan dalam media.
Menjelang pesta politik, media di era digital memang sering dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok. Media seolah-olah membuat kelompoknya sendiri yang paling benar dan kelompok yang lain adalah salah. Jadi, bagi para santri yang menggunakan fasilitas di media sosial diharapkan pandai dalam memilah dan memilih informasi. Karena di tahun politik sekarang ini, portensi tersebarnya berita hoax dan isu SARA sangat besar. Santri yang sahih pasti mengetahui mana yang pantas dan mana yang tidak pantas. Maka,  jadilah santri milenial yang kritis, bukan santri yang apatis. 

Penulis:  Zidna Azzahra
Mahasiswi Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Walisongo Semarang


Lebih baru Lebih lama