Membingkai Peran Mahasiswa di Tahun Politik 2019

Gambar: psikoino.org
Tinggal menghitung waktu lagi, pemilihan Presiden (Pilpres) Republik Indonesia segera digelar. Para tim sukses (timses) masing-masing kandidat semakin menguatkan pertahanan dan mati-matian bergerilya. Pilpres menjadi ajang pertarungan demokrasi terbesar. Berbagai partai politik saling unjuk gigi  memperlihatkan esksitensinya untuk menempati kursi kekuasaan.

Apalagi, di era banjirnya informasi, konten-konten negatif marak bertebaran di dunia maya. Dimana SARA menjadi isu utama yang diusung strategi di tahun politik. Isu SARA digoreng sedemikian rupa, hingga menyebabkan manusia semakin fanatis.

Misalnya peristiwa pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid oleh salah satu Oknum organisasi masyarakat di Indonesia, membuat geger berbagai pihak. Bahkan sampai terjadi aksi besar-besaran, dan menjadi trending isu dalam pemberitaan. Selain itu, pidato salah satu calon presiden Indonesia tahun 2019, yakni Prabowo Subianto. Berhasil digoreng dengan baik, dan dijadikan trending topic di media sosial tweeter.  Dalam salah satu media informasi tirto.id (03/11/2018) terkait dengan pidato tersebut.Terdapat berita yang menunjukkan dua kubu berseteru dalam menanggapi pidato. Alhasil klaim kebenaran, tuduhan, hinaan, dan lain sebagainya saling dilontarkan kedua belah pihak.

Fenomena- fenomena diatas, menyebabkan keramaian dimana-mana. Tidak hanya di dunia maya, tetapi juga di dunia. Media sosial seperti facebook, Tweeter, instagram, dan lain sebagainya. Dipenuhi dengan komentar- komentar, unggahan- unggahan foto, oleh para pendukung fanatis masing-masing pihak.  Hatespeech atau ujaran kebencian melenggang bebas, propoganda dan informasi provokatif menyebar dengan cepat dari satu gadget menuju gadget yang lain.
Mahasiswa sebagai kaum millenial perlu mewaspadai segala informasi yang bertebaran di dunia maya. Khususnya bagi yang hobi berselancar  di dunia maya. Dilansir dari katadata.co.id (16/10/2018)  Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat bahwa menjelang pilpres 2019, kabar bohong atau hoaks meningkat. Mafindo mencatat sebanyak 230 hoaks yang terklarifikasi sebagai disinformasi mualai dari Juli- september 2018. Dimana, pada setiap bulannya mengalami peningkatan.

Tidak hanya itu, parahnya lagi banyak sekali akun-akun pemenangan kandidat yang menyebarkan informsi-informasi hoaks, hatespeech, dan  konten-konten berbau negatif lainnya. Sehingga, jika tidak diperhatikan dengan baik. Maka, dapat berakibat fatal. Yakni, masyarakat termakan informasi-informasi yang tidak benar tersebut. Pada akhirnya, share sebelum sharing membudaya. Lalu bagaimana jadinya, jika kebiasaan tersebut terus membudaya ?. Mari kita pikirkan bersama.

Jika kondisinya sudah semacam ini, sebagai mahasiswa tentunya perlu menyumbangkan ide-ide kreatif  untuk mengatasi problem-problem diatas. Namun, realitanya masih ada mahasiswa yang seharusnya menjadi agen kontrol sosial justru terjebak pada fanatisme buta. Ikut menyebarkan konten-konten negatif dan tidak menimbang kebenaran data dari informasi yang disebarkan.

Sebagai penyandang predikat Mahasiswa, mengusahakan suasana kondusif selama menjelang pilpres sejatinya perlu dilakukan. Mulai, dari membudayakan sharing sebelum share, serta menyebarkan konten-konten positif di dunia maya, bukan malah sebaliknya. Hal tersebut, juga dapat dilakukan di dunia nyata, dengan meberikan edukasi kepada masyarakat, bagaimana menjadi pemilih yang cerdas, serta mengajak lingkungan masyarakat untuk melek politik.

Dengan demikian sedikit demi sedikit iklim kondusifitas akan terjaga. Bayangkan saja, bagaimana jadinya jika mahasiswa yang diharapkan masyarakat justru tidak menjalankan perannya dengan baik dan malah terjebak fanatisme buta ? Mari kita renungkan bersama.

Penulis: Dina Anifatul Arifana
Mahasiswa Jurusan Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang
Lebih baru Lebih lama